Kesalahan-kesalahan yang Nyebelin di Jurassic World: Fallen Kingdom

dnk-jurassic

Tulisan ini mengandung spoiler. Jika kamu belum menonton, kamu boleh untuk tidak melanjutkan membaca.

Tanggal 6 Juni kemarin, Universal Studios merilis film Jurassic World: Fallen Kingdom(2018). Film ini merupakan sekuel dari film Jurassic World (2015) dan film ke-5 dari seri film Jurassic Park.

Meski bukan Steven Spielberg lagi yang menggarap, dua sekuel terakhir tersebut nggak membuang konsep horror-action khas seri Jurassic Park. Bahkan, saking nggak membuang konsep awal, pola ceritanya juga ya sama aja.

Di film Jurassic Park 1 (1993), ceritanya tentang tragedi di kebun binatang prasejarah yang tadinya mau dibuka John Hammond, sing nggagas Jurassic Park. Sedangkan Jurassic Park 2: Lost World (1997) menceritakan tentang orang serakah yang nyulik Dinosaurus ke kota buat jadi penghasilan pribadi.

Kok ya pola yang sama juga kelihatan jelas di film Jurassic World (2015) dan Jurassic World: Fallen Kingdom (2018). Mirip banget. Yang satu ceritanya kebun binatang rintisan John Hammond ini beroperasi, yang lainnya ya pingin mengeksploitasi Dinosaurus.

Cuma, film terakhir ini memang kesan dark-nya memang cukup kental. Sisi emosional juga banyak diangkat meski film tersebut tetep mencekam dan bikin kaget sampe pingin misuh.

Kalau runut nonton semua filmnya, mulai garapan Steven Spielberg sampai Juan Antonio Bayona, sepertinya manusia terkesan nggak mau belajar dari kesalahan. Ironisnya, pesan itu berlaku juga untuk film ini. Iya, banyak kesalahan. Tapi ya memang, orang mungkin banyak yang luput saking terkesimanya penonton pada adrenalin yang naik turun dan CGI yang kerennya nggak kira-kira.

Dimulai dari kesalahan-kesalahan pada gambaran Dinosaurus. Dari awal sekuel tersebut diproduksi, bentuk dan anatomi Dinosaurus ya gitu-gitu aja, meski sains membuktikan konsep tersebut sebenernya salah. Kelihatan banget kalo garapan J.A. Bayona cuma ngikut-ngikut konsep Dinosaurus rekaan Steven Spielberg.

Padahal, konsep Dinosaurus tersebut juga banyak yang salah. Misalnya, Velociraptor itu aslinya ya cuma seukuran ayam kalkun. Yang seukuran di film itu bukan Velociraptor, tapi sepupu dari Velociraptor, yang dikenal dengan nama Deinonychus.

Kalo ngikut temuan terakhir, keluarga Velociraptor dan Teropoda lainnya seperti T-Rex mestinya juga berbulu seperti unggas. Lah T-Rex ini sebenernya cikal bakal ayam, kok. Bagusnya, di film terakhir tersebut, ada revisi perilaku berburu pada T-Rex. Karena seperti ayam, pola berburun T-Rex itu pasif. Nggak aktif seperti yang diceritakan di seri Jurassic Park garapan Spielberg.

Berdasarkan penelitian dan temuan terakhir, ternyata suara Dinosaurus itu nggak kayak gitu. Nggak menggeram, menggonggong, apalagi mengaum. Malah Dinosaurus bersuara seperti burung.

Okelah, itu kan rekayasa genetik. Ya wajar aja kalo ada kesalahan-kesalahan anatomi kayak gitu.

Tapi gimana ya. Dari awal aja udah salah. Rekayasa genetik gimana ceritanya? Dari mana? Dari DNA nyamuk yang apes kejebak di batu Amber? Secara teori itu nggak mungkin dilakukan. Ya masa iya nyamuk cuma minum darah Dinosaurus? Kalaupun mungkin bisa ambil sampel darah, bakal banyak distorsi pada DNA yang diambil.

Dinosaurus juga seharusnya nggak cerdas. Apalagi di film digembar-gemborkan kalo Velociraptor itu cerdas. Plis deh. Lingkar otak Dinosaurus itu aslinya kecil. Jadi agak aneh kalo Velociraptor dibilang pinter. Apalagi disebut kalo Indoraptor yang berasal dari DNA Velociraptor jadi ikutan pinter. Saking pinternya, masa sampe bisa nyongkel jendela pake jari. Bentar. Ketawa dulu. :))))

Itu baru ngebahas kesalahan-kesalahan konsep Dinosaurus. Tapi sebenarnya, kesalahan-kesalahan itu bisa kok dimaklumi untuk ngangkat kesan horor yang akan “menghibur” penonton.

Tapi gimana ya!? Beberapa skena juga terkesan aneh dan janggal, bahkan nggak nurut hukum fisika.

Di film-film sebelumnya, kita sama-sama tau bahwa senjata api nggak bisa dipake untuk ngelawan Dinosaurus. Lha kok tiba-tiba, Blue –yang jadi primadona Jurassic World– malah mempan sama revolver biasa sampai kehilangan banyak darah. Sementara di film sebelumnya pas kawanan Velociraptor ditembaki, ya nggak ngaruh blas.

Seharusnya, J.A. Bayona bisa konsisten terhadap konsep ini. Transfusi darah antar spesies pas adegan penyelamatan nyawa Blue juga terkesan agak ngaco. Emang bisa apa?

Selanjutnya, ada adegan pas Indoraptor manjat dan jalan di atas genteng kediaman keluarga Lockwood serta atap Glass House. Ukuran Indoraptor itu kalau dikira-kira ya seukuran utahraptor, sepupu Velociraptor yang paling gede. Berat utahraptor diperkirakan sekitar 1 ton.

Jadi kalo diasumsikan berat Indoraptor juga segitu, kok ya gentengnya nggak ambrol? Terus kok ya rangka Glass House nggak brojol? Jangan-jangan, Indoraptor juga dikasih DNA Wong Fei Hung sama Dr. Henry Wu. Makanya dia bisa punya ilmu meringankan tubuh.

Tapi, demi estetika dan obat keren film, ya balik lagi, maklumi wae. Selama film masih bisa tegang, selama penonton masih bisa tahan napas, selama film jadi laris, ya biarin aja, lah.

Kalau terlalu manut konsep nyata juga bisa beda ceritanya. Misal, di film selanjutnya, Mosasaurus yang kelepas di awal film ini bakal mati terdampar di pantai dengan isi perut penuh sampah plastik. Eh, maap. Kelepasan.

Biarin lah, nggak apa-apa. Yang penting film ini masih layak tonton. Tentu buat yang umurnya 13 tahun ke atas lah, ya. Banyak, kok, sisi lain dari film ini yang bagus. Mulai dari CGI, directingscript, timing script yang mengena, semuanya ya manjain mata. Meski sebenernya film ini lumayan sangat membosankan.


Tulisan ini pernah dimuat di dnk.id pada tanggal 9 Juni 2018 dalam bahasa Suroboyoan yang santai.