Telanjang

Photo by: @Mozta_

Photo by: @Mozta_

Betapa luka bisa meniadakan segala. Dimulai dari nanah yang menggerogotimu secara perlahan, hingga akhirnya menelanjangimu, kemudian meleburkanmu tak bersisa.

Namanya Kawala. Laki-laki yang rasanya lebih pahit ketimbang air rebusan Brotowali. Saking pahitnya, ia hanya keluar saat malam. Supaya gelap bisa membungkus kepahitannya agar tak terkecap di raut wajah orang lain, apalagi menularinya.

Saking pahitnya, Kawala sampai bisa mengecap pahit dirinya. Bahkan pada saat malam yang seharusnya bisa membungkus pahit dengan sempurna. Sekuat-kuatnya batu, pasti akan hancur lama kelamaan oleh air yang menetes. Perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit.

Kawala sebenarnya sudah tidak tahan. Akhirnya suatu malam ia janjian kencan dengan Tuhan. Ia mengundang Tuhan ke kost-nya. Malam itu ia berdandan habis-habisan. Ia mandi, berpakaian bagus, menyisir rapih rambutnya, dan memakai minyak wangi hampir separuh botol. Kamar kost-nya ia tata serapih mungkin. Lilin-lilin ia pasang di mejanya. Tak lupa menyemprotkan pengharum beraroma sandal wood ke seisi ruangan. Supaya romantis, katanya.

Tuhan datang pada jam yang telah ditentukan. Kawala sumringah. Ia persilahkan Tuhan masuk. Ia persilahkan Tuhan duduk. Kawala mulai menyapa. “Apa kabar?” Tuhan tersenyum manis sekali. Mereka bercakap-cakap. Akrab sekali. Seolah sudah lama mereka tidak bertemu. Kemudian mereka saling bertukar rayuan dan pujian.

Waktu terus melaju malam itu. Setelah beberapa saat, isi kepala Kawala yang sedari tadi ia coba tahan, mulai menggelegak dan meluap ingin nimbrung. Lalu tumpah ruah keluar dari lubang hidung dan telinga. Tuhan bukannya tidak memperhatikan. Namun menunggu Kawala mengadu kepadaNya terlebih dahulu.

“Aku tersakiti.” Kawala memulai pembicaraan.

“Lalu?”

“Tersakiti oleh kepahitan yang aku ciptakan sendiri. dan Engkau tahu, itu karena aku percaya padaMu.” Tuhan menyimak. “Aku percaya kata-kataMu. KataMu, berbuat baik itu perlu dan tidak boleh pandang bulu. Tidak boleh ragu-ragu. Total. Tapi apa yang kelak mereka perbuat kepadaku?”

Keromantisan seketika runtuh. Kawala mengambil sebatang kretek, dinyalakan, lalu kemudian ia hisap dalam-dalam. Asap yang dihembuskannya perlahan-lahan memenuhi ruangan, bercampur dengan segala kepahitan dan omelan-omelan isi kepala. Menggantikan aroma pengharum ruangan. Menempel pada dinding-dinding dan menjelma menjadi kabut kelabu. Lilin-lilin yang terpasang tidak lagi memancarkan cinta. Namun emosi yang menyalak-nyalak dari balik api di kepala lilin kencannya.

Kawala tau. Ini gelagat tidak baik. Alih-alih ingin sekedar bercerita dan berkeluh kesah, namun timbul keinginan Kawala untuk bernegosiasi dengan Tuhan.

“Aku ingin berhenti. Kapan Kau mau berhenti membuatku seperti ini?” Kawala hati-hati dalam bertanya.

“Kamu tidak tahan, ya? Bersabarlah. Bukankah Aku tak pernah meninggalkanmu?”

“Tapi aku tidak tahan terus menerus mengecap pahit yang lahir dari lukaku sendiri. Pahit ini terlalu anyir. Lebih pahit dari nanah. Aku terinfeksi luka-luka ku sendiri.”

“Apa kamu ingat? Kamu seringkali menyakiti Ku setelah tak terhitung Ku berikan anugerahKu kepadamu. Lalu katamu, kamu tersakiti oleh hal yang sama seperti yang kau lakukan kepadaKu?”

Kawala tersentak. Kepalanya tertunduk. Berat. “Maafkan aku.”

“Berserahlah kepadaKu.”

Waktu terus mengalir. Semesta Kawala berguncang keras. Kepalanya ramai. Urat syarafnya tegang. Kamar kost itu seketika menciut. Dinding-dindingnya menghimpit dada Kawala. Kawala cuma bisa diam. Tanpa sadar, ia menangis.

“Apakah itu solusi?”

“Katamu kau ingin negosiasi?”

“Aku ingin terbebas. Tidak lagi tercemar polusi.”

“Berserahlah.”

“Bagaimana caranya?”

“Kamu tau betul caranya.”

Kawala semakin terhimpit dinding. Malam membungkusnya semakin erat. Mencekik lehernya. Langit runtuh dan bulan bersarang tepat di atas kepalanya.

“Telanjang?” Seolah meminta kepastian kepada Tuhan, Kawala bertanya ragu-ragu dan penuh harap. Siapa tau Tuhan hanya mengujinya sedikit. Tapi Tuhan hanya tersenyum manis sekali. Kawala seperti tidak punya pilihan. Ia perlahan-lahan membuka pakaiannya. Satu persatu.

“Apakah ini cukup?” Kawala memberikan pakaiannya yang bernama raga dan jiwa.

Tuhan memicingkan mata, kemudian tersenyum penuh arti. “Terserah kamu.”

Kawala menangkap isyarat, bahwa itu masih kurang. Kawala menghela napas, kemudian mulai melucuti pakaiannya yang lain. Ia kini melucuti pikiran dan hatinya. “Apakah ini cukup?” Tanyanya lagi.

Tuhan terdiam sejenak. Kemudian tersenyum lagi penuh arti. “Terserah kamu.” kataNya lagi.

Kawala semakin bingung. Ia memang tidak suka dengan kata ‘terserah’. Baginya, kata itu tidak kokoh. Rancu. Menunjukkan ketidakpastian. Kawala menghirup malam memenuhi paru-parunya. Kemudian ia hembuskan dengan cepat. Sehingga seisi kamarnya berantakan. Lalu ia mencoba melucuti pakaiannya yang lain. Akal dan budi. “Mungkin ini cukup.” Ia berujar lesu.

Melihat tingkahnya, Tuhan tertawa. Sementara, Kawala semakin kebingungan. Ia merasa sudah tidak punya apa-apa lagi. Ia putus asa. Tanpa terasa, air mukanya berkerut bagai gunung, kemudian sungai memancar dari sumur matanya. Paru-parunya dilanda badai. Menghirup kembali seisi ruangan, untuk kemudian terhela sekencang-kencangnya. Menghirup kembali, terhela kembali. Begitu seterusnya. Ia sesak. Sampai semenit yang seolah tak berujung, sekelilingnya huru-hara.

Ya. Ia sesak. Hei. Kawala tersadar. Ia masih bisa merasa. Artinya, masih ada yang melekat pada dirinya. Kemudian, ia menatap lekat-lekat wajah Tuhan. Baiklah, kali ini aku lepaskan semuanya. Semoga memang semuanya. Batin Kawala.

“Semoga kali ini cukup. Maka terimalah aku kemudian, Tuhan.” Kawala kemudian mulai melepaskan lagi pakaian yang tersisa. Rasa sedih dan bahagia, harapan dan do’a-do’a, dosa-dosa dan pahala, juga segala daya yang masih tersisa. Kawala benar-benar telanjang bulat saat itu. Polos. Bukan lagi menjadi Kawala. Ia menjadi bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.

Ruang-waktu seketika bergulung menjadi tak berbentuk. Kawala tak terbiasa dengan keadaan seperti ini. Waktu Kawala berhenti melaju. Ia jatuh tersungkur. Runtuh. Pecah dan melebur bersama ruang waktu yang merentang kembali seperti sedia kala.

Tuhan tersenyum. Memeluknya, kemudian menerima Kawala menjadi bagian dariNya. Malam menjadi hening setelah diombang-ambing. Kawala musnah, bersama ruang waktunya.

Tiada.

Fana.

2 Comments

Leave a comment